Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Alangkah Lucunya Aceh!

Written By Masril on Minggu, 25 Maret 2012 | 21.41


HASIL kolaborasi penulis Musfar Yamin dan sutradara Dedi Mizwar dalam filmnya berjudul “Alangkah Lucunya (Negeri ini)!”, menjadi bahan “tertawaan” bagi seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali Aceh. Kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di negeri ini, mulai dari pendidikan, kemiskinan, moral, halal dan haram, adalah sederet isu yang disuguhkan dalam film tersebut, yang seakan tidak pernah lenyap di atas bumi ini.

Belakangan, di Aceh, bertambah satu lagi isu yang sangat mamanas, yaitu “perebutan” kekuasaan melalui ajang Pilkada. Berpangkal dari isu di atas, hingga lahirlah kekerasan, pembakaran, teror, bahkan pembunuhan yang belakangan rutin terjadi secara berjamaah, dalam artian tidak pernah putus-putus.

Berita tentang pembakaran mobil, kantor, dan rumah selalu menjadi headline di koran ini, seperti: Lagi, Mobil Timses Irwandi Dibakar; Lagi, Mobil Timses Kandidat Bupati Dibakar; Mobil Timses Dibakar lagi; Mobil dan Kantor PA Dibakar; Mobil Timses Cabup Aceh Timur Dibakar; Timses Dibacok, Mobil Dibakar. Bahkan, tempat untuk berteduh pun tidak luput dari incaran; Rumah Zakaria Saman Dibakar. Berita di atas hanya sepercik kisah yang terjadi di Aceh hari ini, negeri yang juga dijuluki tanah seribu mesjid. Miris, ketika Aceh sedang bersolek untuk menebarkan pesona di luar dengan “bedak” syariat Islam. Sungguh, rasa bangga pada dunia menjadi penghuni Serambi Mekkah akan pudar dan terkikis dari masyarakat Aceh. Negeri Islam, tapi perilaku (sebagian) masyarakatnya tidak mencerminkan keislaman. Lantas, haruskah kita beramai-ramai keluar dari Aceh, karena sudah tidak ada lagi tempat yang aman untuk dipijak?

 Mengganjal jalan kompetitor
Dalam sebuah artikel yang berjudul Nafsu Menjadi Pemimpin, Dr Daud Rasyid, pengajar Pascasarjana UIN Jakarta, menyinggung akan kerakusan manusia pada jabatan. Sehingga tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan itu. Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara kaum kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan pada waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan kompetitornya.

Tidak menutup kemungkinan juga untuk menyakiti, merusak, bahkan menghabisi nyawa jika ada yang menghalangi jalannya untuk duduk manis diatas kursi empuk yang hanya diperebutkan lima tahun sekali ini. Mari kita membuka mata lebar-lebar, untuk melihat apa yang terjadi hari ini di Aceh. Sudahkah gambaran di atas terjadi di tengah-tengah kita? Jawablah dalam hati anda masing-masing.

Sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama. Tapi, setidaknya, mengingat peristiwa yang pernah terjadi --konflik politik dan bersenjata berkepanjangan-- di mana harga darah sangat murah di Aceh kala itu. Ini semua hendaknya dapat menjadikan mereka yang sedang bertikai untuk mau membuka hati, mengulurkan tangan, bahu membahu, bersaing secara sehat, hingga ban sigoem masyarakat Aceh bisa menikmati hidup aman, damai, dan sejahtera.

Ketenangan, kedamaian, seolah “permata” di dasar lautan yang sangat mustahil untuk didapatkan. Malam yang mencekam, nyawa seakan berada di ujung rambut, hari-hari yang penuh ketidakpastian, bisa saja seluruh aktifitas tiba-tiba mati total karena adanya aksi pemberondongan, pemblokiran jalan, ruang gerak menjadi sangat sempit, hanya untuk pergi ke kampung sebelah, susahnya seperti pergi ke negara lain.

Singkat cerita, konflik yang berkepanjangan telah merenggut tak terhitung nyawa, memporak-porandakan pendidikan, psikologi masyarakat terpuruk, prestasi nol besar, Aceh sama sekali tak berkutik, kala itu. Hingga akhirnya, hembusan angin kedamaian kembali merasuki ke seluruh relung jiwa yang berteduh di atas tanah Aceh, setelah lahirnya kesepakatan damai antara pemerintah RI dan GAM.

Kesepakatan yang difasilitasi Crisis Management Intiative (CMI), sebuah lembaga international yang dipimpin langsung mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, telah menghasilkan sebuah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005, di Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi sungai Vantaa, di luar kota Helsinki, Finlandia.

 Aceh hari ini
Belakangan, hembusan angin kedamaian telah tercoreng oleh ulah segelintir orang. Sejauh ini belum ada kesimpulan dari pihak kepolisian siapa sebenarnya bandit “bertopeng” itu. Secara kasar masyarakat menyimpulkan, pertikaian yang terjadi antara droe keu droe, bansa Aceh ngon bansa Aceh. Mungkin tidak meleset sedikit pun pemberian sebutan Aceh pungo kepada orang Aceh, sebagaimana yang dipopulerkan oleh RA Kern, seorang penulis berkebangsaan Belanda.

Beranjak dari beberapa falsafah hidup (hadih maja) sebutan Aceh pungo tidak terbantahkan lagi. Pungo di sini berarti keras. Semisal, singet bek, ro bah meuruah. Hadih maja tersebut memberi kesan watak orang Aceh yang sangat keras. Begitu juga pada hadih maja yang lain, haroh ta udep, wajeb ta mate (kita harus hidup, tapi wajib mati). Orang Aceh tidak takut walau ancaman mati sekali pun.

Saatnya mari kita mengubur dalam-dalam ego masing-masing, melepaskan segala atribut, ambisi, melupakan kisah pilu masa lalu, menerawang ke depan, akan ada hari esok, hari yang cerah, hari di mana kedamaian bisa didapatkan di mana saja, hari yang akan dilalui anak cucu kita, dengan mempersembahkan segudang prestasi, harumnya nama Aceh akan tercium hingga ke seluruh pelosok negeri.

Tapi jika tidak, mari kita “tertawa” untuk Aceh. Karena, alangkah lucunya Aceh ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar